-->
ONTOLOGI PERSPEKTIF ISLAM[1]
Oleh: Salman Farizi[2]
A. PENDAHULUAN
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi yang tertua di antara segenap filsafat Yunani yang kita kenal adalah Thales. Atas perenungannya terhadap air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu.
Dalam persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Hakikat adalah realitas; realita adalah ke-real-an, Riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab "apa " yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda.[3]
Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani: On = being, dan Logos = logik. Jadi Ontologi adalah The theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).[4] Louis O.Kattsoff dalam Elements of Filosophy mengatakan, Ontologi itu mencari ultimate reality dan menceritakan bahwa di antara contoh pemikiran ontologi adalah pemikiran Thales, yang berpendapat bahwa airlah yang menjadi ultimate subtance yang mengeluarkan semua benda. Jadi asal semua benda hanya satu saja yaitu air”.[5]
Sidi Gazalba dalam bukunya Sistematika Filsafat mengatakan, ontologi mempersoalkan sifat dan keadaan terakhir dari kenyataan. Karena itu ia disebut ilmu hakikat, hakikat yang bergantung pada pengetahuan. Dalam agama ontologi memikirkan tentang Tuhan.[6]
Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan, ontologi berasal dari kata ontos = sesuatu yang berwujud. Ontologi adalah teori/ilmu tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Ontologi tidak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada logika semata-mata.[7]
Pada intinya, pandangan terhadap filsafat sekarang ini ada dua yaitu, pandangan dari orang-orang barat dan pandangan Islam. Dua pandangan diatas bertolak belakang. Oleh karena itu, kami akan mengkaji salah satu pokok bahasan yang ada di dalam filsafat yaitu Ontologi perspektif Islam
Berdasarkan hal itu, pertanyaan yang patut dikemukan adalah adalah bagaimana pandangan Islam terkait dengan ontologi tersebut dan bagaimanakah penciptaan alam semeta ini dalam perspektif ontologi Islam. Jawaban dari kedua pertantayan itu akan memberikan sebuah pemahaman yang jelas terhadap onotologi dalam perspektif Islam bagi kita semua.
B. PANDANGAN AL-QUR’AN TERHADAP ALAM SEMESTA
Ontologi merupakan salah satu objek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (being), baik berupa wujud fisik (al-tobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-tobi’ah). Upaya penelaahan dan pemahaman terhadap hakikat alam semesta dan yang terkait di dalamnya sudah muncul sejak zaman Yunani kuno. Thales (631-550 SM), Bapak filsafat Yunani, misalnya, telah meneliti asal muasal kejadian alam semesta dan berkesimpulan bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari air. Sepuluh abad berikutnya, al-Qur’an membirikan informasi dan menegaskan, bahwa segala sesuatu diciptakakn dari air, “Dan Kami jadikan segala sesuatu dari air”. (QS. Al-anbiya’, 21:30). Kemudian diteruskan oleh filosof-filosof sesudahnya, Anaximandros (610-546 SM), Anaximenes (585-528 SM), dan Heraklitos (540-475 SM) yang akhirnya dikenal sebagai filosof Ionioan School (madrasah al-iyuniyah). Di tangan merekalah ditemukan empat elemen bumi yaitu air, api, udara dan tanah, yang dikenal sebagai al-ustuqsat al-arba’ah (elementum).
Atas dasar itulah, realitas (al-mawjud) dalam perspektif Islam juga meliputi fisika dan metafisika. Hanya, dalam diskursus filsafat Islam, objek kajiannya lebih banyak menyentuh persoalan metafisika, terutama bagian ketuhanan dan hubungannya dengan penciptaan alam semesta, sehingga filsafat dalam Islam disebut juga sebagai filsafat ketuhanan (al-falsafah al-ilahiyyah) atau filsafat pertama (al-falsafah al-ula), karena menyentuh pembahasan tentang Allah sebagai sebab pertama (causa prima). Adapun wilayah fisika terkait dengan ilmu-ilmu ke-alaman seperti kedokteran, ilmu alam, eksakta, Astronomi, dan lain-lain, yang di masa klasik Islam menjadi keahlian para filosof Islam.[8]
Penjelasan dari teks di atas adalah semua yang ada di dunia ini adalah berasal dari Tuhan, dalam hal ini adalah Allah SWT sebagai sebab pertama. Segala ilmu yang ada sekarang ini adalah berasal ari-Nya. Dia-lah yang menciptakan segala yang ada di alam semesta ini. Baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi.
Lebih dari itu, al-Qur’an memandang alam semesta sebagai ciptaan Tuhan dengan menggunakan kata dasar (al-khalq). Istilah ciptaan, yang berarti makhluk dan terulang sebanyak 57 kali dalam al-qur’an ini adalah kata serupa yang digunakan untuk mengungkapkan perilakku penciptaan itu sendiri., yakni khalaqa, yang menunjukkan proses kejadian alam semestayang tunduk kepada hukum-hukum kausalitas (al-sababiyah) yang tidak tunduk kepada perubahan dan penggantian (tahwil:tabdil), sebagaimana yang dinyatakan oleh al-qur’an: “dan kamu tidak akan menemukan suatu perubahan dalam ciptaaan Allah”(QS. Fatir 35:43, QS. al-Ahzab 33:62, QS. al-Fath, QS. Al-Isra’ 17:77).[9]
C. PROSES PENCIPTAAN ALAM SEMESTA
Alam berarti dunia fisik, yaitu kita berhubungan dengannya lewat lewat indra kita. Dalam al-Qur’an terdapat 750 ayat yang merujuk pada fenomena alam. Hampir seluruh ayat ini memerintahkan manusia untuk mempelajari kitab (hal-hal yang berhubungan dengan) penciptaan dan merenungkan isinya.[10]
Kata khalaqah bukan merupakan terma tunggal yang digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan makna penciptaan. Namun, proses penciptaan alam semesta diungkapkan dengan menggunakan istilah yang beragam: khalaqa, sawwa, fatara, sakhkhara, ja’ala dan ba’da. Semua sebutan untuk penciptaan ini mengandung makna mengadakan, membuat, mencipta atau menjadikan dengan tidak meniscayakan waktu dan tempat penciptaan. Dengan kata lain, bahwa penciptaan alam semestatidak mesti harus didahului oleh ruang dan waktu. Meskipun demikian, kata yang paling dirujukoleh al-Qur’an adalah khalaqa (dalam berbagai bentuk pelakunya), yakni sebanyak 161 kali dan yakhkhluku (dalam berbagai bentuk dan pelakunya), sebanyak 8 kali, ditambah dengan bentuk jamaknya sebanyak 4 kali. seperti yang dinyatakan didalam al-Qur’an, bahwa “dialah yangmemnciptakan bagimu semua yang ada di langit dan bumi, kemudian Dia bersemayam di langat dan menciptakannya tujuh tingkatan langit. Dan dialah yang maha mengetahui terhadap segala sesuatu” (QS. Al-baqarah, 2:29); juga ayat, “sesungguhnya tuhanmu adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi sdalam enam hari, kemudian bersemayam siatas singgasana ‘arsy’ (QS. Yunus, 10:3).
Kata kerja lain yang digunakan meskipun dalam jumlah kecil, adalah bada’a yang berarti mengadaka sesuattu yang baru tanpa contoh (penemuan baru). Misalnya, dalam al-qur’an disebutkan, bahwa”pencipta langit dan bumi, tatkala meniscayakan sesuatu dia mengatakan adalah, maka ia ada” (QS. Al-baqarah, 2:117). Pada kesempatan lain al-Qur’an menggunakan kata kerja lain ja’ala yang bermakna membuat atau menjadikan, seperti dalam ayat: “dialah yang menjadikan matahari bercahaya dan bulan bersinar” (QS. Yunus:10:5). Selain itu juga penggunaankata fatara, sawwa, dan sakhkhara sebagaimana yang disebutkan diatas.
Dalam diskursus keagamaan dan kefilsafatan, hakekat penciptaan telah menjadi perdebatan panjang yang bermuara pada perbedaan interpretas etimologis terhadap terma-terma yang digunakan oleh al-qur’an diatas. Misalnya apakah penciptaan alam semesta didahului oleh adanya ruang dan waktu ataukah tidak. karena hall ini berimplikasi kepada premis tentang keazalia dan keabadian alam semesta, maka para teolog musli berpendapat bahwa Allah menciptakan alam semesta dalam ketiadaan (al-khalq min ‘adam) atau creatio ex nihillo. Bagi mereka, karena Allah maha kuasa, maka menciptakan sesuatu dari ketiadaan bukannlah sesuatu kemustahilan. Dipihak lain, dengan premis-premis logika dan postulat-postulat ilmu serta pengamatan fenomina alam secara alamiah, para filosof berpendapat bahwa penciptaan dari ketiadaan adalah mustahil. Pada hakikatnya menurut mereka yang terjadi dalam penciptaan adalah pengubahan bahan dari bentuk yang satu kebentuk yang lainnya.
Ibnu Rusyd misalnya, memandang realitas itu ada tiga macam. Pertama, realitas yang adanya dari tiada dan tidak disebabkan oleh apapun atau tidak didahului oleh adanya ruang dan waktu. Realitas inidisebut dengan realitas azali dan abadi yang merupakan sebab bagi adanya segala sesuatu. Dalam istilah agama realitas azali disimbolkan sebagai tuhan (Allah) yang transenden dalam semua aspek-aspeknya. Kedua, realitas yang adanya dari sesuatu (misalnya bahan materi) karena sebab tertentu, serta didahului oleh ruang dan waktu. Realits ini adalah semua benda yang ada didalam alam semesta ini, termasuk keempat elemen bumi, yakni api, air, tanah, dan udara, yang dikenal dengan (al-ustuqsat al-arba’ah). Ketiga, realitas yang adanya dari tiada, namun adanya karena sebab dan tidak didahului oleh ruang dan waktu. Realitas ini adalah alam sebagai terciptanya benda-benda didalamnya. Karena adanya tidak didahului oleh ruang dan waktu, maka ia azalai dan abadi seperti yang menyebabkannya. Hanya, realitas ini dibawah tingkatan realitas pertama sebagi sebab pertama yakni Allah yang maha tinggi.[11]
D. PENCIPTAAN LANGIT DAN BUMI
Penciptaan alam semesta memang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an secara langsung, juga tidak dijelaskan secara mendetail dan rinci, sebagaimana Allah berfirman: “Aku tidak dipersaksikan kepada manusia tentang penciptaan langit dan bumi, dan tidak juga penciptaan diri mereka…” (QS.al-Kahf, 18:51). Melainkan dijelaskan secara global sebagai firman-Nya: “Hanya kepada-Nyalah kamu semuanya akan kembali; sebagai janji yang benar dari Allah, sesungguhnya Allah menciptakan makhluk pada permulaannya kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali (sesudah berbangkit), agar Dia memberi pembalasan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dengan adil. Dan untuk orang-orang kafir disediakan minuman air panas dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka” (QS. Yunus, 10:4); “Segala pujj bagi Allah pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai para utusan ( untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masingh-masing ada yang dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas aegala sesuatu” (QS. Qaf, 50:1).
Langit sebelum dijadukan oleh Allah adalah berupa asap, kabut atau gas, kemudian baru menjadi benda-benda di angkasa luas. Benda-benda di angkasa itu pada mulanya satu, kemidian pecah dan diantaranya menjadi bumi. Seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an: “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dulu adalah satu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup, maka mengapakah mereka tiada beriman.”(QS. Al-Anbiya 21:30).
Langit dan bumi sepeti yang digambarkan Al-Qur’an diciptakan Tuhan dala enam hari, maksudnya berproses dalam enam masa yang panjang, mengingat dalam ayat lain disebutkan sehari sama dengan seribu tahun atau lima puluh ribu tahun. Dan setidaknya ada tujuh ayat dari empat surat dalam Al-Qur’an yang dapat dijadikan rujukkan untuk mengetahui kejadian langit dan bumi. Ayat-ayat tersebut adalah (QS. Al-Ghasiyah, 88:17-20); (QS. Yunus, 10:101); (QS. al-Ankabut, 29:20); dan (QS. Al-Rum, 30:50). Dari tujuh ayat ini dapat dipahami konsep dasar penciptaan langit dan bumi, hal ini terlihat dengan jelas dalam surat al-Ghasiyah: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia dicptakan ; dan langit bagaimana ditinggikan; dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan dan bumi bumi bagaimana dihamparkan(QS. Al-Ghasiyah, 88:17-20).[12]
E. PENCIPTAAN MANUSIA
Manusia oleh al-Qur’an dipandang sebgai salah satu ciptaan Allah efunrdi alam semesta dan gsi sebagai khalifah-Nya di bumi. Al-Qur’an mencritakan bahwa Allah menciptakan manusia dari bahan tanah (turab), tanah liat (tin), tanah liat kering (salsal) yang dibentuk dari lumpur hitam (hama’) dan (ard). Misalnya firman Allah: “Dari tanahlah kami ciptakan, dan pada kepadanya Kami kembalikan, dan darinya Kami bangkitkan kembali ”(QS. Taha, 20:55). Dan pada kesempatan lain, juga disebutkan bahwa manusia diciptakan dari air (ma’)seperti difirmankan: “dan Dialah yang menjadikan manusia dari air” (QS. Al-Furqan, 25:54). Ayat-ayat ini memberikan pemahaman secara sepintas lalu bahwa penciptaan manusia dimulai dengan aiar dan tanah.
Dalam ayat lain , al-Qur’an member ilustrasi tentang proses kejadian manusia dari air benih (nutfah) yang dipancarkan (mani). Allah berfirman: “(Allah) yang paling baik ciptaan-Nya dan memulai menciptakan manusia ari tanah; kemudaian menjadikan keturunannya dari pancaran air yang hina.” (QS. As-sajdah, 32:8).[13]
F. KESIMPULAN
Ontologi merupakan salah satu objek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (being), baik berupa wujud fisik (al-tobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-tobi’ah).
Realitas (al-mawjud) dalam perspektif Islam juga meliputi fisika dan metafisika. Hanya, dalam diskursus filsafat Islam, objek kajiannya lebih banyak menyentuh persoalan metafisika, terutama bagian ketuhanan dan hubungannya dengan penciptaan alam semesta, sehingga filsafat dalam Islam disebut juga sebagai filsafat ketuhanan (al-falsafah al-ilahiyyah) atau filsafat pertama (al-falsafah al-ula), karena menyentuh pembahasan tentang Allah sebagai sebab pertama (causa prima). Adapun wilayah fisika terkait dengan ilmu-ilmu ke-alaman seperti kedokteran, ilmu alam, eksakta, Astronomi, dan lain-lain.
Disini dapat disimpulkan bahwa segala yang ada dunia ini adalah ciptaan dari Allah SWT sebagai sebab pertama. Mulai dari alam semesta hingga isinya adalah ciptaan Allah SWT. Tidak terkecuali manusia yang ada di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama Islam, Jakarta: Logos Wacana llmu, cet. I.
Gholshani, Mehdi. 1997. Filsafat-Sains menurut Al-Qur’an,Bandung : Mizan.
Gazalba, Sidi. Tanpa Tahun. sistematika Filsafat, Pengantar kepada Teori Pengetahuan, Buku II, Jakarta: Bulan Bintang, cet.I.
James K. Feibleman, 1976. Ontologi dalam Dagobert D. Runes (ed), Dictionary Philoshopy, Totowa New Jersey: Little Adam & Co.
Katsoff, Louis O. 1953. Element of Philosophy, New york: The Roland press Company.
Masruri, Hadi, 2007. Filsafat Sains dalam Al-Qur’an, Malang: UIN-Malang PRESS.
Romdon, 1996. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan, Jakarta : Rajawali Press, edl, cet.I.
[3]Romdon, Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan, (Jakarta : Rajawali Press, ed. l, cet. I, 1996), hlm.X.
[4]Lih. James K. Feibleman, Ontologi dalam Dagobert D. Runes (ed), Dictinary Philoshopy, (Totowa New Jersey: Little Adam & Co., 1976), hlm.219.
[5]Louis O Katsoff, Element of Philosophy, (New york: The Roland press Company, 1953), hlm. 178.
[6] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Pengantar kepada Teori Pengetahuan, Buku II, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. I, 1973), hlm. 106.
[7]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama I, (Jakarta : Logos Wacana llmu, cet. I, 1997). hlm. 169.
[8] Masruri, Hadi, Filsafat Sains dalam Al-Qur’an,(Malang : UIN-Malang PRESS, 2007) hlm. 89-90.
[9] Ibid hlm. 91.
[10] Gholshani, mehdi, Filsafat-Sains menurut Al-Qur’an,(Bandung: Mizan, 1997) hlm.22.
[11] Masruri, Hadi, Filsafat Sains dalam Alqur’an, op.cit., hlm.91-95.
[12] Ibid, hlm. 96-97.
[13] Ibid, hlm. 101-102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar yang anda berikan.