Travelling

Rabu, April 28, 2010

HAK CIPTA: PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL DAN HUKUM ISLAM
A. Pendahuluan
Di era millenium atau orang-orang lebih senang menyebutnya era globalisasi ini dunia bisnis mengalami kemajuan yang sangat pesat. Setiap individu atau negara berlomba-lomba dalam dunia bisnis ini. Globalisasi telah memberikan sebuah peluang untuk melakukan sebuah hubungan bisnis yang lebih besar lagi. Setiap orang atau Negara melakukan sebuaah timbal balik dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.
Hubungan yang ada dalam globalisasi tersebut didukung oleh transparansi informasi. Informasi dengan mudahnya dapat segera tersebar ke berbagai belahan dunia. Begitupun dalam bisnis. setiap ada sebuah inovasi, kreasi ataupun discovery dari salah satu pihak pebisnis, hal itu akan segera tersebar ke berbagai belahan dunia. Setiap orang akan mengetahui informasi baru tersebut.
Bertolak dari hal tersebut, upaya perlindungan terhadap Hak Cipta (merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual/ HAKI) yang dihasilkan oleh setiap individu atau kelompok. Dan sudah saatnya setiap pihak peduli agar tercipta sebuah iklim kompetisi yang sehat diantara para pelaku bisnis. Iklim kompetisi yang sehat akan memacu berkembangnya kegiatan yang inovatif dan kreatif. Kegiatan inovatif dan kreatif yang menjadi syarat batas dalam menumbuhkan kemampuan, pengembangan dan penguasaan teknologi dalam segala bidang.
Untuk selanjutnya maka dibutuhkan adanya perundangan atau hukum yang jelas dan dapat melindungi hak cipta dari berbagai tindakan atau upaya seperti penjiplakan, pembajakan dan sejenisnya. Tindakan atau upaya seperti diatas dapat mematikan inovasi dan kreatifitas serta dari segi materi dapat menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi pemegang atau pemilik hak cipta.
Berdasarkan hal diatas, akan sangat menarik apabila payung hukum yang ada itu diintegrasikan antara hukum nasional dan hukum Islam. Upaya ini tidak lain adalah sebagai implementasi sebagai seorang muslim yang memikul tanggung jawab sebagai Khalifah di muka bumi. Sebagaimana tujuan diciptakannya manusia yaitu agar beribadah kepada Allah SWT.

B. Sekilas Sejarah dan Pengertian Hak Cipta
a. Sekilas Sejarah Hak Ciptaan
Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa Inggris (secara harafiah artinya "hak salin"). Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.
Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi Bern") pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.
Di Indonesia, pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti.
Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.
b. Definisi Hak Cipta
Definisi mengenai hak cipta, ada beberapa definisi yaitu:
1. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002, pasal 1 (butir 1), “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.”
2. Menurut Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak cipta dapat didefinisikan sebagai suatu hak monopoli untuk memperbanyak atau mengumumkan ciptaan yang dimilikinya oleh pencipta atau pemegang hak cipta lainnya yang dalam implementasinya memperhatikan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Menurut Auterswet 1912, hak cipta adalah hak tunggal dari pada pencipta, atau hak dari yang mendapat hak tersebut, atas hasil ciptaannya dalam lapangan kesusasteraan, pengetahuan, dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang.
4. Konvensi Hak Cipta Universal dalam pasal V menyatakan bahwa, hak cipta meliputi hak tunggal si pencipta untuk membuat, menerbitkan dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari karya yang dilindungi perjanjian ini.
5. Menurut Prof. Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag, hak cipta adalah suatu hak penuh yang dimiliki oleh pencipta untuk melakukan atau tidak melakukan dalam mempublikasikan ciptaannya.
Dari beberapa definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hak cipta adalah hak mutlak yang dimiliki oleh pencipta untuk mendayagunakan/ melakukan atau tidak mendayagunakan terkait dalam hal pempublikasian dengan memperhatikan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari pengertian yang sudah ada diatas, ada tidak hal yang harus diperhatikan mengenai hak cipta, yaitu:
1. Subjek
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
2. Objek
Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
Adapun hak ciptaan yang dilindungi menurut Pasal 12 UU Hak Cipta adalah ebagai berikut:
1. Buku, Program Komputer, pamf1et, perwajahan (layout) karya tulis yangditerbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
2. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang, sejenis dengan itu;
3. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
4. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
5. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
6. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
7. Arsitektur;
8. Peta;
9. Seni batik;
10. Fotografi;
11. Sinematografi;
12. Tejemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Hal yang telah disebutkan diatas adalah merupakan ciptaan yang sudah mendapat perlindungan dari UU yang ada. Sehingga pemilik hak sudah mempunyai hak penuh atas ciptaan tersebut.
C. Fungsi dan Sifat Hak Cipta
Seperti yang telah disebutkan dalam pasal 1 ayat satu, “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.”
Jadi yang menjadi subjek dari hak cipta itu adalah pencipta itu sendiri, dialah yang mempunyai hak penuh atas ciptaannya tersebut. Oleh karenanya terdapat dua unsur. Yaitu:
1. Hak yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada pihak lain. Dalam hal ini adalah seperti pengalihan hak cipta buku dari pengarang ke pihak penerbit.
2. Hak moral, yang bagaimanapun, dengan jalan apapun tidak dapat ditingglkan daripadanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencamtumkan nama sebenarnya atau nama samara dan mempertahankan keutuhan, dan integrasi karyanya). Hak moral adalah hak-hak yang melindungi kepentingan pribadi si pencipta. Konsep hak moral ini berasal dari sistem hukum kontinental, yaitu dari perancis. Menurut konsep hukum kontinental hak pengarang terbagi menajdi hak ekonomi unruk mendapatkan keuntungan yang bernilai ekonomi seperti uang dan hak moralyang menyangkut pernlidungan atau reputasi si pencipta.
D. Prinsip-Prinsip Dasar dan Cakupan Hak Cipta
Ada beberapa prinsip dasar hak cipta, yang secara konsteptual digunakan sebagai landasan bagi semua. Prinsip tersebut adalah
1) Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah terwujud dan asli.
2) Hak cipta timbul dengan sendirinya.
3) Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta.
4) Hak cipta (pasal 1 ayat 1) suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hukum (legal right) yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari pengausaaan fisik sustu ciptaan.
5) Hak cipta bukan hak mutlak, sebuah hak yang masih harus memperhatikan UU yang ada. Artinya disini adalah ada pembatasan dari UU.
Selanjutnya terdapat dua , yang tercakup dalam hak cipta, yaitu hak eksklusif dan hak ekonomi dan moral.

a. Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
 membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
 mengimpor dan mengekspor ciptaan,
 menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
 menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
 menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan "hak eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk "kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.”
Selain itu, dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur pula "hak terkait", yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).
b. Hak Ekonomi dan Hak Moral
Banyak negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan Konvensi Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut.
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak moral". Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan . Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak Cipta.
E. Perkecualian dan Batasan Hak Cipta
Perkecualian hak cipta dalam hal ini berarti tidak berlakunya hak eksklusif yang diatur dalam hukum tentang hak cipta. Contoh perkecualian hak cipta adalah doktrin fair use atau fair dealing yang diterapkan pada beberapa negara yang memungkinkan perbanyakan ciptaan tanpa dianggap melanggar hak cipta.
Dalam Undang-undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia, beberapa hal diatur sebagai dianggap tidak melanggar hak cipta (pasal 14–18). Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah "kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan". Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Selain itu, Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta demi kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun melarang penyebaran ciptaan "yang apabila diumumkan dapat merendahkan nilai-nilai keagamaan, ataupun menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan negara, bertentangan dengan norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan ketertiban umum" (pasal 17).
Menurut UU No.19 Tahun 2002 pasal 13, tidak ada hak cipta atas hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim, ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya (misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa). Di Amerika Serikat, semua dokumen pemerintah, tidak peduli tanggalnya, berada dalam domain umum, yaitu tidak berhak cipta.
Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak cipta. Demikian pula halnya dengan pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
Seperti halnya hak milik perorangan, hak cipta juga mengenal pembatasan dalam penggunaan atau pemanfaatannya. Dengan demikian, tidaklah benar adanya anggapan bahwa pemegang hak cipta boleh memanfaatkannya sesuka hati. UU Hak cipta memberikan beberapa pembatasan terhadap hak cipta yaitu:
1. Pasal 14
a) Pengumuman dan/atau Perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut
sifatnya yang asli;
b) Pengumuman dan/atau Perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama Pemerintah, kecuali apabila Hak Cipta itu
dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan peryataan pada Ciptaan itu sendiri atau ketika Ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
c) Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita,
d) Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
2. Pasal 15
Dengan syarat bahwa sumbemya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a) Penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b) Pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan
pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c) Pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan: ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencippta;
d) Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
e) Perbanyakan suatu Ciptaan selain program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan dan pusatdokumentasi yang nonkomersial semata-mata
untuk keperluan aktiyitasnya;
f) Perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya
arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g) Pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
F. Pendaftaran Hak Cipta di Indonesia
Menurut Soekardono yang dikutip oleh Prof. Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag, mengatakan ketika memberikan advis kepada pengurus perkumpulan importer di Batavia dahulu, bahwa ada dua jenis cara atau stelsel pendaftaran yaitu, stelsel konstitutif dan stelsel deklaratif. Dalam stelsel konstitutif letak titik beratnya guna memperoleh hak atas ciptaan dalam pendaftarannya, sedangkan pada stelsel deklaratif titik berat diletakkan pada anggapan sebagai ciptaan terhadap hak yang didaftarkan itu, sampai orang lain dapat membuktikan sebaliknya.
Di Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Namun demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan. Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen HKI. "Daftar Umum Ciptaan" yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.

G. Penegakan Hukum Atas Hak Cipta: Sanksi yang Dijatuhkan
Penegakan hukum atas hak cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta sendiri sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata dan pidana. Mengenai prosedur penegakan hukum hak cipta secara adil dan setara seperti yang ditetapkan dalam TRIPs, memingkinkan pemegang hak cipta untuk mengajukan gugatan perdata ke muka Penagdilan Niaga. Prosedur yang demikian telah diatur dalam pasal 59-66 UU RI No 19 Tahun 2002.
Adapun sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta sudah diatur dalam pasal 72 UU RI No 19 Tahun 2002 yaitu:
Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp l.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
4. Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
5. Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20, atau Pasal 49 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp l50.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
6. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
7. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana denganpidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rpl50.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
8. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rpl50.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
9. Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana penjarapaling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp l.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
H. Hak Cipta Perspektif Islam
Allah menciptakan manusia dan jin adalah untuk beribadah kepada-Nya. Semua tindakan manusia pada hakikatnya adalah harus berorientasi pada tujuan ibadah kepada Allah semata agar mereka mendapatkan kebahagian di dunia maupun di akhirat. Untuk mencapai tujaun itu maka ada sebuah aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia yang lain yang disebut dengan Syari’at. Syari’at ini mengatur semua aspek kehidupan, tidak terkecuali permasalah tentang hak cipta.
Islam melarang pencurian, hukum mencuri adalah telah ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Maa’idah ayat 38 yang berbunyi:
              
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maa’idah 5:38).
Dalam hal ini, nabi Muhammad sangat tegas menjatuhkan hukuman kepada siapapun saja yang terbukti melakukan pencurian, sebagaimana sabdanya, “ Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah Binti Muhammad yang mencuri, pasti akan aku potong tangannya.” (Riwayat Bukhari).
Selain itu Islam juga melarang memakan makanan dengan cara yang bathil seperti daru hasil pelanggaran hak cipta. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 29 yang bunyinya adalah
                    •     
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’ 29)
Ketika Islam dengan sangat tegas menerapkan hukum potong bagi para pelaku pencuri, ini menunjukkan bahwa Islam itu sendiri sangat memperhatikan hak kepemilikan seseorang. Pencuria di dalam Islam bukan hanya merugikan korban secara individu, akan tetapi juga telah mneginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri dalam perspektif sosialnya. Bahka lebih parahnya lagi, dia sudah mengabaikan larangan Allah SWT.
Hukum Islam dalam kaitannya dengan hak, menetapkan langkah hukum sebagai berikut:
1. Memberikan hak pada yang berhak, misalnya membayar upah pada pekerja
2. Melindungi hak, di madinah pada zaman Nabi, orang kafir juga mendapat perlindungan dari setiap ancaman yag ada dari luar
3. Menggunakan hak dengan cara yang sah dan benar
4. Menjamin perpindahan hak dengan cara yang benar, misalnya dalam transaksi jual beli, waris dan sebagainya.
5. Menjamin hangus atau terhentinya hak dengan cara yang benar, misalnya dalam kasus perceraian.

I. Kesimpulan
Setiap hukum yang diterapkan tujuannya adalah untuk mengarahkan setiap manusia atau warga Negara agar melakukan tindakan ya ng sesuai dengan hukum yang ada. Begitu juga dengan adanya hukum mengenai hak cipta. Hukum ini diberlakukan agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang melanggar hak masing-pihak. Artinya hak tiap-tiap yang dimiliki oleh individu ataupun lembaga harus dihargai dengan cara mengikuti aturan maen yang ada (sesuai hukum yang berlaku). Sehingga budaya kreatif dan inovatif dari setiap individu bisa tumbuh dengan pesat, yang pada akhirnya akan membawa kearah kemajuan.
Antara hukum Islam dan konvensioanl sama-sama mengusung tujuan menuju mashlahah bersama. Namun yang menjadi titik perbedaan adalah: Pertama, mengenai sumber hukumnya. Jika konvensioanal adalah berlandaskan pada sekuler, sedangkan Islam berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits. Kedua, sanksi yang diterapkan bagi para pelanggar pun. Didalam hukum konvensional hanya ada hukuman di dunia saja, tetapi pada hukum Islam, selain ada hukuman di dunia juga ada hukuman di akhirat bagi para pelanggarnya.










DAFTAR PUSTAKA
Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin. 2005. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahannya: Al-Jumanatul ‘Ali (Seuntai Mutiara yang Luhur). Jakarta: CV Penerbit J-ART.
Djakfar, Muhammad. 2009. Hukum Bisnis: Membangaun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dan Syari’ah. Malang: UIN Malang Press.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
Yayasan Klinik HAKI (IP CLINIC). 2002. Kompilasi Undang-Undang Hak Cipta, Paten, Merek dan Terjemahan Konvensi-Konvensi di Bidang Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Jakarta: PT Citra Aditya Bakti.
http:// www.wikipedia.org/ Hak Cipta, diakses pada tanggal 23 April 2010, jam 13.05 WIB.
http://www.depkumham.go.id/ tm , Sekilas Sejarah Perkembangan Sistem Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, diakses pada tanggal 23 April 2010, pukul 10.35 WIB.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar yang anda berikan.